Rabu, 03 Juli 2013

Masyarakat Baduy Banten (Kanekes) #Tugas UAS


MASYARAKAT BADUY BANTEN (KANEKES)


Baduy, atau lebih dikenal dengan sebutan Masyarakat Kanekes, adalah suatu kelompok masyarakat adat sunda yang tinggal di pedalaman Kabupaten Lebak, lebih tepatnya desa Kanekes, sebuah desa di kaki pegunungan Kendeng, kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka. Banyak sekali versi yang menceritakan mengenai asal usul dari masyarakat Baduy dan masih menjadi sebuah pertanyaan besar hingga sekarang. 
Masyarakat Kanekes dianggap masih memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda. Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam. 
 Bahasa yang digunakan oleh orang Baduy sendiri adalah Bahasa Sunda dialek Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes 'dalam' tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.

Dalam perkembangannya, masyarakat Baduy terbagi menjadi dua yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Mereka meyakini bahwa mereka berasal dari satu keturunan, yang memiliki satu keyakinan, tingkah laku, cita-cita, termasuk busana yang sama. Kalaupun ada perbedaan dalam berbusana, perbedaan itu hanya terletak pada bahan dasar, model dan warnanya saja. Baduy Dalam merupakan masyarakat yang masih tetap mempertahankan dengan kuat nilai-nilai budaya warisan leluhurnya dan tidak terpengaruh oleh kebudayaan luar. Ini berbeda dengan Baduy Luar yang sudah mulai mengenal kebudayaan luar.


Untuk Baduy Dalam, para pria memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang, pakaian ini berwarna putih polos yang dipakai dengan cara disangsangkan atau dilekatkan di badan. Desain baju sangsang hanya dilubangi/dicoak pada bagian leher sampai bagian dada saja. Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih. Pembuatannya hanya menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun.Untuk bagian bawahnya menggunakan kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang. Agar kuat dan tidak melorot, sarung tadi diikat dengan selembar kain. Untuk kelengkapan pada bagian kepala suku baduy menggunakan ikat kepala berwarna putih. Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang panjang, kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk. Masyarakat Baduy yakin dengan pakaian yang serba putih polos itu dapat mengandung makna suci bersih.
 Bagi suku Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya terbelah dua sampai ke bawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan potongan bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang kapas murni. Cara berpakaian suku Baduy Luar Panamping memamg ada sedikit kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam. Terlihat dari warna, model ataupun corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh budaya luar. Busana bagi kalangan pria Baduy adalah amat penting. Bagi masyarakat Baduy Dalam maupun Luar biasanya jika hendak bepergian selalu membawa senjata berupa golok yang diselipkan di balik pinggangnya serta dilengkapi dengan membawa tas kain atau tas koja yang dicangklek (disandang) di pundaknya.

Sedangkan, untuk busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy dalam maupun Baduy Luar tidak terlalu memperlihatkan perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan warna pakaian, kecuali baju adalah sama. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Busana seperti ini biasanya dikenakan untuk pakaian sehari-hari di rumah. Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya harus tertutup. Untuk pakaian bepergian, biasanya wanita Baduy memakai kebaya, kain tenunan sarung berwarna biru kehitam-hitaman, karembong, kain ikat pinggang dan selendang. Warna baju untuk Baduy Dalam adalah putih dan bahan dasarnya dibuat dari benang kapas yang ditenun sendiri.


Untuk sistem kepercayaan Suku Baduy atau masyarakat Kanekes sendiri sering disebut dengan Sunda Wiwitan yang berdasarkan pada pemujaan nenek moyang (animisme). Semakin berkembangnya zaman, muncul beberapa kepercyaan baru seperti agama Islam, Budha dan Hindu. Namun inti dari kepercayaan itu sendiri ditunjukkan dengan ketentuan adat yang mutlak dengan adanya “pikukuh” ( kepatuhan) dengan konsep tidak ada perubahan sedikit pun atau tanpa perubahan apapun. Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. 
 Mata pencaharian utama masyarakat Baduy adalah bertani atau bercocok tanam. Hasil perkebunan dan pertanian kemudian mereka jual untuk memenuhu kebutuhannya atau dikonsumsi oleh pribadi. Walaupun masyarakat Baduy tinggal di pedalaman, namun tidak berarti hubungan mereka dengan orang luar tidak berjalan rancar. Mereka mengikuti perkembangan zaman tanpa mengubah tradisi dan adat istiadat mereka (tidak termasuk Baduy Luar). Bahkan mereka mulai berinteraksi dengan masyarakat setempat bahkan berbaur dengan para turis asing. Tempat tinggal masyarakat Baduy saat ini menjadi salah satu objek wisata dan penelitian yang diminati, namun untuk bisa saling berhubungan dengan mereka, kita harus mematuhi peraturan, tata tertib dan tradisi dari masyarakatnya. Terlebih lagi jika ingin mengunjungi mayarakat Baduy Dalam.